BATANG TUBUH UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelompok : 7
Anggota Kelompok
Nama
|
NIM
|
1.
Dico
Aggi P.
|
J3J212290
|
2.
Hadid
Asykar AQ.
|
J3J212304
|
3. Rotua Debora
|
J3J212315
|
PROGRAM
DIPLOMA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2012
DAFTAR ISI
Daftar isi ………………………………………………………………….. 2
Bab I.
Pendahuluan……………………………………………………… 3
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 3
1.2. Rumusan masalah................................................................................ 3
1.3. Tujuan.................................................................................................. 3
Bab II.
Pembahasan .................................................................................... 4
2.1. Pengertian............................................................................................ 4
2.2. Sejarah................................................................................................. 4
2.3. Pandangan umum................................................................................ 4
2.4. Materi undang-undang........................................................................ 5
2.5. Tahapan pembentukan
undang-undang.............................................. 5
2.6. Undang-undang Fakir Miskin.............................................................. 6
Bab III. Kesimpulan...................................................................................... 11
3.1. Kesimpulan.......................................................................................... 11
Daftar Pustaka............................................................................................... 12
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dikala ini banyak masyarakat indonesia
yang lupa akan aturan yang telah dibuat untuk kemakmuran bersama dalam hidup
berbangsa dan bernegara di indonesia. Sehingga memang pantas jika ternyata
akhir-akhir ini kriminalitas di negara kita meningkat drastis dibandingkan
dengan masa sebelumnya. Keadaan ini tentunya akan memberikan pengaruh buruk
bagi kemajuan bangsa tercinta ini.
Hal seperti ini disebabkan karena
masyarakat kurang mengetahui mengenai aturan-aturan yang berlaku di indonesia.
Tak diherankan bila ternyata mereka pun tak mengetahui mengenai Batang Tubuh UU
yang telah ada sebelum dibuatnya UUD pada tahun 1945. Semakin banyaknya yang
tak mengetahui aturan-aturan ini menyebabkan meraja relanya kemiskinan di
negeri ini.
Oleh karena itu kami membuat makalah
ini untuk memberikan informasi mengenai Batang Tubuh UU. Selain itu kami ingin
mengetahui penerapan Batang Tubuh UU ini di masyarakat, terutama dalam masalah
penanganan masalah fakir miskin yang kini semakin bertambah.
1.2.Rumusan masalah
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas kami merumuskan masalah yang
dihadapi adalah :
a.
Seperti
apakah sebenarnya Batang Tubuh UU mengenai fakir miskin?
b.
Apakah yang
seharusnya didapatkan oleh fakir miskin?
c.
Bagaimanakah
cara menangani fakir miskin menurut Batang Tubuh UU?
1.3.Tujuan
Mengetahui mengenai batang tubuh UU yang dibuat di
Indonesia. Dapat memahami situasi dan kondisi fakir miskin yang terdapat diI
indonesia. Mengetahui penanganan fakir miskin menurut batang tubuh UU di
Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Pengertian
Undang-Undang
/ Perundang-undangan (UU)
adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama
Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat
untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama
dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula
dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah,
hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
2.2. Sejarah
Undang-undang
(bahasa Inggris: Legislation - dari bahasa Latin lex, legis
yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh
otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis.
Konsep hukum
yang didefinisikan oleh sebuah laporan dari kontrak dan Perjanjian (yang hasil
dari negosiasi antara sama (dalam hal hukum)), kedua dalam hubungan dengan
sumber-sumber hukum lainnya: tradisi (dan kebiasaan), kasus hukum,
undang-undang dasar (Konstitusi, "Piagam Besar", dsb.), dan
peraturan-peraturan dan tindakan tertulis lainnya dari eksekutif, sementara
undang-undang adalah karya legislatif, sering diwujudkan dalam parlemen yang
mewakili rakyat.
Kekuasaan
legislatif biasanya dilaksanakan:
a.
dengan Kepala Negara
hanya dalam rezim otoriter tertentu, kediktatoran atau kekuasaan mutlak;
b.
oleh Parlemen;
c.
dengan rakyat sendiri
melalui referendum.
2.3.Pandangan
umum
Hukum termasuk
dalam serangkaian peraturan dan standar dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum sering
istilah generik untuk semua kegiatan, di mana pun mereka berada dalam hirarki
standar (konstitusi, hukum atau pengertian formal peraturan ketat).
Dari segi
bentuknya, hukum adalah perbuatan hukum oleh otoritas tertentu, biasanya DPR,
yang sah dan memiliki kapasitas untuk memimpin. Di negara-negara yang mengenal
suatu bentuk pemisahan kekuasaan, hukum adalah sebuah standar hukum yang
diadopsi oleh badan legislatif dalam bentuk dan prosedur yang ditentukan oleh
hukum konstitusional setempat. Penerapannya kemudian dapat ditentukan oleh teks
yang dikeluarkan oleh eksekutif, sebagai pelaksanaan Keputusan, dan juga akan
dijelaskan lebih lanjut oleh penafsiran di pengadilan.
Aturan hukum
adalah alat yang tersedia bagi para pengacara yang memungkinkan untuk bekerja
sesuai dengan cita-cita keadilan. Setiap kebebasan atau hak pasti menyatakan,
harus dilaksanakan sepenuhnya, kewajiban toleransi dan hormat, atau tanggung
jawab.
2.4.Materi
undang-undang
Mengatur lebih
lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan
kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan
kependudukan, serta keuangan negara.
2.5.Tahapan
pembentukan undang-undang
2.5.1.
Persiapan
Rancangan
Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh DPR atau Presiden.
RUU yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan
lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat
Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili
Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU
dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
RUU yang telah
disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR
dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
DPD dapat
mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2.5.2.
Pembahasan
Pembahasan RUU
di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, melalui
tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
DPD
diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD
juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
2.5.3.
Pengesahan
Apabila RUU tidak
mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak boleh diajukanlagi dalam
persidangan masa itu.
RUU yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari
sejak tanggal persetujuan bersama.
RUU tersebut
disahkan oleh Presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak
RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak
RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU
tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
2.6.Undang-undang
Fakir Miskin
Undang-undang republik indonesia nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan
fakir miskin dengan rahmat tuhan yang maha esa, presiden republik indonesia,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin
guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan;
c. bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada
huruf b, diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada fakir
miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan;
d. bahwa pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin
masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan
pengaturan penanganan fakir miskin yang terintegrasi dan terkoordinasi;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanganan Fakir
Miskin;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4967); Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
2. Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah,terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
3. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
4. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang sosial.
Penanganan fakir miskin berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan sosial;
c. nondiskriminasi;
d. kesejahteraan;
e. kesetiakawanan; dan
f. pemberdayaan.
(Kenyataannya pada saat ini apa yang diprogramkan oleh pemerintah belum
maksimal. Bahkan hampir setiap program yang direncanakan tidak sesuai apa yang
diharapkan dengan yang tercantum di pasal tersebut.)
Pasal 3
Fakir miskin berhak:
a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan
memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan
diri dan keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
(Pada kenyataannya pasal-pasal tersebut bertolak belakang dengan realita
saat ini. Masih banyak rakyat yang belum mendapatkan kesejahteraan yang layak
baik pekerjaan maupun pemenuhan kebutuhan yang di inginkan. Semua ini disebabkan
oleh kedua belah pihak baik pemerintah maupun fakir miskin itu sendiri. Seperti
pemerintah yang tidak menjalankan program yang tidak maksimal yang seharusnya
dapat dirasakan oleh masyarakat tetapi disamping itu masyarakat juga belum
dapat berpikir untuk berusaha secara mandiri. Contoh ; banyak masyarakat yang
hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah,tidak ingin berusaha untuk lebih
maju.)
Pasal 4
Fakir miskin bertanggung jawab:
a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak kesehatan,
kehidupan sosial, dan ekonominya;
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf kesejahteraan
serta berpartisipasi dalam upaya penanganan kemiskinan; dan
d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang mempunyai
potensi.
(Jika ditinjau dari pasal tersebut hal-hal yang telah disebutkan tidak
dijalankan dengan baik. Karena masyarakat kurang mengetahui dan mendukung pasal
tersebut sehingga menyebabkan banyaknya terjadi kriminalitas dan kesenjangan
sosial yang sering terjadi.)
Pasal 5
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan
berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 6
Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
Pasal 7
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengembangan potensi diri;
b. bantuan pangan dan sandang;
c. penyediaan pelayanan perumahan;
d. penyediaan pelayanan kesehatan;
e. penyediaan pelayanan pendidikan;
f. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
g. bantuan hukum; dan/atau
h. pelayanan sosial.
(2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan kemampuan dasar
dan kemampuan berusaha;
c. jaminan dan perlindungan sosial untuk memberikan rasa aman bagi fakir
miskin;
d. kemitraan dan kerja sama antarpemangku kepentingan; dan/atau
e. koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
(Penanganan fakir miskin bila di tinjau saat ini kurang memuaskan karena
pelaksanaannya tidak merata hingga ketempat-tempat yang sulit dijangkau.
Sehingga memnyebabkan ketidak adil-an dalam menjalankan tugas penanganan
terhadap fakir miskin.)
BAB III KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Batang tubuh UU yang dibuat untuk
fakir miskin di Indonesia sudah bisa menyelesaikan masalah fakir miskin di
indonesia. Namun walaupun aturan yang dibuat ini dapat menyelesaikan masalah
fakir miskin bergantung juga pada pelaksanaan aturan-aturan tersebut di
masyarakat. Sehingga keadaan fakir miskin di indonesia semakin memburuk dan
bertambah jumlahnya hal ini disebabkan oleh batang tubuh UU yang telah disusun tidak
terlaksana sesuai dengan yang dicantumkan dalam aturan tersebut. Penanganan
fakir miskin sendiri cukup dengan yang telah dituliskan dalam Batang Tubuh UU
tersebut hanya saja tinggal pelaksanaannya masih kurang mendukung baik dari
sisi pelaksana maupun sarananya.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.depkumham.go.id
2.
http://www.prasko.com/2011/08/pengertian-undang-undang-dan-peraturan.html
3.
http://www.depsos.go.id/users/dicksan/2011/depsos.go.id/produk%20hukum/uu_no.13-2011.pdf
No comments:
Post a Comment